Materialisme adalah suatu cara pandang yang real terhadap dunia alam raya yang bersifat materi atau kebendaan. Dalam banyak hal materialisme lebih mampu menjelaskan fenomena cara pandang dunia dibanding paham idealisme yang diturunkan secara turun temurun. Materialisme adalah cara pandang abstraksi kebendaan yang ada di luar yang disebut matter dan yang ada di dalam memory otak yang disebut idea. Filsafat ini menegaskan bahwa pemikiran manusia berasal dari abstraksi materialnya. Sebagai contoh sederhana jika seorang anak yang tubuh materialnya bertinggi 150 cm dan ingin bermain basket dengan baik maka si anak itu akan berpikir untuk melatih meloncat lebih tinggi untuk bisa bersaing, namun bila tubuh material si anak itu bertinggi 180, anak itu tidak akan kerepotan berlatih meloncat untuk bisa bermain basket dengan baik. Dengan demikian filsafat ini adalah materi mendahului ide atau pikiran. Dengan adanya fakta materi terlebih dahulu baru anda bisa berpikir atau mempunyai ide.
Pada titik ini materialisme hanya sebagai ideologi, atau pengertian atau kerangka berpikir kaum materialis. Sedangkan jika materialisme ditarik kepada konteks kebudayaan akan menjadi sangat kompleks, terutama perangkat kebudayaan yang tidak hanya dihasilkan dari sebuah benda atau peninggalan saja.
“Ontologi kebudayaan mengandaikan adanya tiga lapis kebudayaan, yaitu ideofakt, sosiofakt, dan artefakt. Ideofakt adalah ide dan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat, yang kemudian dikonkretkan secara sosial menjadi perilaku, konvensi, dan tradisi sebagai sosiofakt, dan selanjutnya dimaterialisasikan dalam artefakt sebagai produk material kebudayaan. Sementara itu, ada 7 elemen kebudayaan yang masing-masing mengandung ideofakt, sosiofakt, dan artifakt tersebut. Yaitu, bahasa, religi, seni, pengetahuan, organisasi sosial, kekerabatan, dan ekonomi………Artefakt inilah yang kemudian disebuat kebudayaan materi (material culture), sementara dasar-dasar teoritis dan prinsip-prinsip epistemologisnya disebut materialisme budaya (cultural materialism)…………” Jamal D. Rahman.
Dalam kaitan masyarakat urban, materialisme pada kenyataannya, mendasari lahirnya bentuk citraan (mementingkan luaran ketimbang isi) dan konsumerisme. Masyarakat urban sendiri tidak serta-merta mengidiologikan materialisme sebagai sebuah ideologi yang mesti dijalani atau menjadi panutan seperti kaum materialis Russia dan Negara-negara lainnya. Namun materi di sini adalah pendorong atau letupan masyarakat untuk melahirkan kebudayaan materi (artefakt) kembali. Menjadi sirkuler.
Secara sederhana bahwa Masyarakat urban melahirkan dirinya dari berbagai ideology, baik itu orang idealis, materialis, dan rasionalis. Dan bahwa untuk memahami kebudayaan materi adalah memahami dan menafsirkan meteri itu sendiri sebagai sebuah teks (baik tulisan maupun benda) yang dilahirkan dari lingkungan dan pergulatan sosialnya. Dan menjelaskan perkembangan materi-materi yang dihasilkan sebelumnya sebagai system symbol (ditafsir dari refresentasi perkembangan masyarakatnya)
Penjelasan semacam ini perlu menggali teori-teori kebudayaan yang lebih rumit dan komplek, namun dapat dijelaskan, sekilas cara berpikir masyarakat urban sangat empiris, yakni memahami segala sesuatu atas dasar akal dan indera saja. Adalah billboard misalnya, sebagai artepak (materi) yang menjadi salahsatu acuan model dalam menafsir kebudayaan masyarakat urban, sekaligus peninggalan yang real dari materinya.
Billboard mengandung arti sebagai komunikasi, seni design, iklan, bahasa, dan artepak. Billboard biasanya dipajang di jalan-jalan, toko, supermarket, mall, dan tempat-tempat umum yang bisa dilihat dengan nyaman dan indah. Katakanlah billboard tentang iklan minuman segar yang bergambar perempuan berambur panjang, hitam, sedang bergaya dan memegang merek minuman tertentu. Dipajang di jalan yang sering macet, bersuhu panas, dan tempat yang sering dipake pejalan kaki, motor dan mobil. Alih-alih dari itu, seorang designer (perancang billboard iklan) menyimpan billboard (mendisplay) suatu iklan tertentu di tengah masyarakat yang membutukannya dan bahwa seorang designer menghasilkan billboard dari kebutuhan masyarakat untuk masyarakat. Maka dapat difahami material yang dalam konteks ini adalah pengejawantahan kode kebutuhan untuk direfresentasikan kedalam materi (billboard iklan minuman) supaya masyarakat memaknai akan kebutuhannya. Billboard dalam makna ini memiliki kearbiteran (mana suka) dalam pengertiannya, bisa dipandang dari dua sudut, billboard sebagai makna design iklan dan makna yang terkandung dalam hubungan asosiatif antara billboard dengan dunia di luar billboard yang membentuk arti paradigmatik.
Paradigmatik terhadap masyarakat yang ada di sekitar billboard itu akan terartikan sendiri, bahwa misalnya minuman yang diiklankan dalam billboard itu diasosiasikan dengan stratifikasi sosial, mobilisasi sosial, diferensiasi sosial, dan sebagainya. Misalkan stratifikasi sosial yang dibangun oleh billboard membuat kesenjangan, membuat status menjadi terbagi-bagi,
Sumber:http://sosbud.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar